Total Tayangan Halaman

Sabtu, 04 September 2010

risuh pemerintah

Sabtu, 04-09-2010 RSS Feed

Brillianto Ksatrya Jaya
Masalahnya Sekarang Ini Siapa yang Bisa Dijadikan Contoh?

Kamis, 02-09-2010 13:35:06 oleh: Brillianto Ksatrya Jaya
Kanal: Opini

Keluarga merupakan agen pendidikan karakter. Tanpa dorongan dari keluarga, mustahil anak-anak bisa memiliki karakter sesuai harapan. Pendapat tersebut dikemukaan Imam Budidarmawan Prasodjo di depan seluruh anggota DPR RI Komisi X pada Selasa (31/8) kemarin di gedung Nusantara I gedung MPR/ DPR RI, Jakarta.

Tambah Imam, keluarga merupakan unit yang paling signifikan untuk membentuk anak agar memiliki karakter. Oleh karena itu, dalam hal ini orangtua memiliki peran yang sangat penting. Sebab, anak akan mencontoh apa yang biasa dilakukan oleh orangtua. Anak-anak yang dibesarkan oleh keluarga yang tidak disiplin, akan menghasilkan anak-anak yang di masa dewasanya akan mengalami ketidakdisiplinan dalam hidupnya. Begitu pula jika orangtua korup, anak akan mengikuti jejak orangtuanya untuk menjadi koruptor. Ibarat pepatah, buah apel jatuh tak jauh dari pohonnya.



20100520_073837_imam2“Sekarang ini siapa pejabat yang bisa dijadikan contoh?” ujar Imam di depan anggota DPR RI Komisi X.

“Saya sempat dimarahi anak saya, karena mengendarai kendaraan dengan menggunakan SIM yang sudah expired,” ujar pria yang dikenal sebagai Ketua Center for Research on Inter group Relations and Conflict Resolution (CERIC) ini. “Bayangkan kalau kita sudah membiasakan mendidik anak kita tanpa disiplin, kita tidak peduli mengendarai mobil dengan SIM expired itu, bahkan mungkin nekad berkendaraan tanpa SIM”.

Itulah karakter disiplin, tembah Imam. Bahwa pendidikan karakter bukan sekadar slogan, tetapi memang benar-benar harus diberikan contoh. Iman bahkan sempat mengutip ucapan Bung Hatta pada tahun 1957 yang mengatakan, bangsa Indonesia tidak akan berkembang tanpa memiliki karakter.

Dalam kesempatan dengar pendapat dengan anggota Komisi X DPR RI, Imam juga mengkritisi tentang ajaran yang “sesat” yang terjadi dalam pendidikan di tanah air. Bahwa sekolah di Indonesia lebih banyak mengajarkan grammar dalam bahasa asing, terutama bahasa Inggris. Tak heran lulusan sekolah banyak yang jago grammer. Tetapi giliran diajak berbicara atau berpidato dalam bahasa Inggris, orang Indonesia tidak fasih, bahkan cenderung pasif.

“Kesesatan” lain adalah kita terbiasa mengumpulkan gelar kesarjanaan sebanyak-banyaknya. Seolah, kata lulusan FISIP UI (S1), Kansas State University, Manhattan (S2) dan Brown University, Rhode Island (S3) ini, tak bisa hidup tanpa gelar. Tak heran jika banyak pejabat, termasuk anggota DPR RI, yang gelar kesarjanaannya dipajang sedemikian panjang. Padahal menurut Imam, yang menjadi patokan secara akademis adalah bagaimana cara mengutarakan buat pikiran, pendapat, atau pada saat pidato.



4007470059_f8d7e2ff23_oFakta kinerja mayoritas anggota DPR RI kita. Numpang tidur, bo! Kalau yang tidak tidur, sibuk kirim SMS dan main Blackberry.

“Kalau sudah pidato, kita bisa melihat gelar yang dimiliki politikus itu asli atau palsu,” kritik Imam. “Itulah jangan heran kalau sekarang ini banyak pejabat yang memiliki gelar kesarjanaan palsu. Ya, karena seolah tanpa gelar tidak bisa hidup”.

Kesalahan-kesalahan itulah yang membuat bangsa Indonesia kelihalangan karakternya. Tambah Imam, saat ini pendidikan nasional justru malah memompa pendidikan sains. Anak-anak dicetak memiliki intelegent yang luar biasa. Orangtua seolah menjadi bangga jika anaknya berhasil mendapat nilai terbaik untuk sains, apalagi sampai memenangkan kejuaraan sains internasional. Namun pemerintah lupa, bahwa pendidikan karakter malah ditinggalkan, dianaktirikan. Sebab, beda sekali antara intelengensia dan karakter.

“Jika intelegensia itu mengolah otak, sebaliknya karakter adalah sebuah prilaku yang sangat dibutuhkan lebih dari sekadar kepintaran,” ujar Iman. “Seseorang yang pintar, tetapi tidak punya kepekaan sosial yang tinggi, itu sangat merugikan. Humanity adalah karakter. Begitu pula integritas. Tanpa integritas, orang yang pandai tidak akan berarti apa-apa.”

Keluarga memang menjadi unit terbesar dalam pembangunan karakter (lihat: piramida pembangunan karakter). Di dalam keluarga, ujar Imam, akan diperkenalkan “learning to do” atau melakukan sesuatu yang positif, agar ketika praktek di lapangan anak memiliki karakter yang baik, baik itu respek pada diri sendiri, respek pada orang lain, bertanggungjawab, maupun jujur.



gedung-dpr

Gedung Nusantara I dibandingkan dengan Menara Pisa atau Torre pendente di Pisa atau disingkat Torre di Pisa di Italia. Seharusnya kalau memang miring tidak perlu dipugar dan dibangung gedung baru. Kenapa? Gedung Nusantara I bisa menjadi “keajaiban dunia baru”.

Namun, lanjut Imam, yang terjadi antara sekolah, komunitas, dan ajaran yang sudah dilakukan dalam keluarga tidak match. Di rumah diajarkan tentang kedisiplinan, tetapi begitu berada di jalan, anak yang sudah diajarkan disiplin menjadi asing, karena mayoritas pengendara kendaraan umum dan pribadi sanga tidak disiplin. Mobil dan motor seenaknya menyerobot traffic light, meski warna lampu masih merah. Kendaraan bermotor merampas hak pejalan kaki, karena pengendara tanpa rasa bersalah menggunakan pedestarian. Aparat pemerintah yang seharusnya bisa menjadi agen perubahan karakter juga memberi contoh tidak benar dengan masuk ke jalur busway, padahal jalur itu harusnya steril dari kendaraan pribadi.

“Semua kesalahan itu sudah dilakukan secara berjamaah,” komentar pria kelahiran Purwokerto, 15 Pebruari 1960.



Menurut Imam, sesungguhnya karater itu sesuatu yang bisa dipelajari. Karakter bukanlah lebel yang melekat sepanjang hidup. Namun masalahnya, siapa pejabat, politisi, atau public figure yang dijadikan contoh saat ini? Sebab, selama ini mereka yang berbicara soal kejujuran, biasanya adalah pembohong. Pejabat atau politisi yang berbicara tentang pemberantasan korupsi, juga melakukan tindak korupsi.

“Indonesia mengalami apa yang disebut public distrust. Masyarakat sudah banyak yang tidak mempercayai lagi dengan ucapan pejabat, terasuk anggota DPR RI,” ujar Imam. “Saya tahu, tidak semua anggota DPR yang tidak disiplin atau sering membolos. Banyak teman-teman saya secara individu berkualitas. Namun, karena mayoritas membuat contoh yang kurang baik, maka melahirkan ketidakpercayaan publik pada mereka.”

Soal ketidakpercayaan publik ini semakin parah ketika menggelindingnya wacana pembangunan gedung baru di DPR RI. Mayoritas masyarakat yang notabene adalah mereka yang diwakili aspirasi mereka di parlemen menolak pembangunan gedung baru di DPR RI. Sebab, gedung baru bukan kebutuhan prioritas mendesak, karena DPR sekarang masih memiliki gedung lebih dari cukup di Senayan, Nusantara I sampai V.

Seperti kita ketahui, pembangunan gedung baru DPR ini akibat dari “penemuan” yang dianggap banyak orang “menyesatkan”, yakni terjadi kemiringan 7 derajat pada gedung Nusantara I itu paskagempa di Tasikmalaya 2009 dahulu. Selain itu, menurut Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso Priyo, gedung tersebut juga sudah melebihi kapasitas, karena selain dihuni anggota Dewan, juga ada staf dan karyawan lain-lain.



ffa65db57a5022b52a8845879c5685c0Inilah gambar rencana gedung Nusantara I yang akan dibangun. Kabarnya ada ruang spa dan karaoke. Bisa-bisa karaoke InulVizta tidak laku lagi, nih!

Menurut rencana, pembangunan gedung baru ini menghabiskan biaya senilai Rp 1,3 triliun, dengan perincian Rp 1,6 triliun untuk konstruksi gedung, dan Rp 200 miliar untuk perlengkapan dalam. Gedung baru ini nantinya akan memiliki fasilitas yang sangat mewah. Ruangan kerja tiap anggota DPR ini akan berukuran 120 meter persegi atau hampir empat kali lebih luas dibanding ruangan sekarang. Hebatnya lagi, selain ruang kerja yang diperluas, di gedung itu akan ada spa maupun karaoke.

“Alasan Sekretriat BURT DPR yang mengatakan bahwa tidak ada hubungan rakyat miskin dengan pembangunan gedung baru DPR, sungguh ini lebih bodoh dan melecehkan rakyat pembayar pajak. Bukankah uang itu diambil dari uang rakyat?” ungkap Dr. Sofjan Siregar, MA yang penulis kutip dari detikcom Kamis (2/9/2010).

Hal senada juga dikatakan oleh pengamat politik UI, Iberamsjah. Katanya pada detikcom, Rabu (1/9/2010), pembangunan gedung mewah itu menunjukkan sikap anggota DPR RI yang amoral.

Meski beberapa anggota DPR menolak, Iberamsjah menilai hal itu hanya sikap munafik semata. “Mana ada sih yang enak-enak DPR menolak? Itu orangnya saja munafik itu,” papar pria ini mengkritisi anggota DPR RI yang menolak, salah satunya . “Kita, media dan civil society yang harus menghentikan hal itu”.

“Jika DPR tetap bertahan membangun gedung baru itu, maka de jure DPR tapi de facto adalah Dewan Penipu Rakyat,” tambah Sofjan pada reporter detikNews Eddi Santosa.

Barangkali pernyataan Sofjan terlalu berlebihan. Namun jika seluruh anggota DPR RI tetap ngotot melaksanakan pembangunan gedung baru, rasanya pernyataan tersebut jadi tidak berlebihan. Sebab, kepekaan terhadap penderitaan rakyat seolah tidak digubris lagi oleh anggota dewan. Bayangkan, nilai Rp 1,3 trilun jauh lebih bernilai jika dialokasikan untuk pembangunan sekolah-sekolah rusak atau kaum marjinal yang tidak sempat menikmati pendidikan. Benar memang kata Imam, sekarang ini siapa pejabat yang bisa dijadikan contoh?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar