Total Tayangan Halaman

Sabtu, 04 September 2010

Mensholatkan Koruptor: No Way!

Di malam ke-26 ini, seorang Ustadz memberikan ceramah ba’da Isya menjelang sholat tarawih di masjid dekat rumah saya, mengenai prilaku yang dijalankan oleh Rasulullah. Ada prilaku yang dijalankan secara rutin, sehingga menjadi rutinitas beliau. Ada pula yang hanya dilakukan sekali dalam seumur hidup. Namun semua prilaku beliau ini tidak diwajibkan kapada seluruh pengikut beliau.
Sholat subuh ketika matahari sudah terbit tentu dianggap tidak sah. Kata Ustadz, suatu hari Rasulullah bangun kesiangan, sehingga waktu subuh terlewat. Seperti kita ketahui, sholat subuh itu dilakukan antara menjelang terbit fajar sebelum terbit matahari. Namun, beliau dan pengikutnya tetap melaksanakan sholat subuh berjamaah, meski matahari sudah bersinar.
Tidak sholat subuh tepat waktu yang dilakukan Rasulullah itu hanya sekali dalam seumur hidup. Keterlambatan beliau gara-gara beliau dan pengikutnya telah berjalan jauh, sehingga terlelap pada saat tidur malam. Berbeda dengan kebanyakan dari kita yang seringkali terlalu lelap tidur, sehingga kesiangan sholat subuh. Bahkan banyak yang pura-pura lupa saat adzan subuh berkumandang, sehingga sholat subuhnya pukul 05 lewat.
Selain sholat subuh, prilaku Rasulullah lain yang paling saya ingat dari ucapan sang Ustadz adalah, Rasulullah tidak mau mensholatkan orang meninggal, tetapi orang meninggal itu masih berhutang. Terus terang saya pernah mendengar kisah tersebut, namun belum begitu yakin. Oleh karena rasa penasaran, saya pun mencari kisah ini. Alhamdulillah saya menemukannya. Coba simak sabda Rasulullah saw berikut ini:

“Barangsiapa yang ruhnya terpisah dari jasadnya dan dia terbebas dari tiga hal: [1] sombong, [2] ghulul (khianat), dan [3] hutang, maka dia akan masuk surga.” (HR. Ibnu Majah)

Rasulullah saw kembali bersabda,

“Barangsiapa yang mati dalam keadaan masih memiliki hutang satu dinar atau satu dirham, maka hutang tersebut akan dilunasi dengan kebaikannya (di hari kiamat nanti) karena di sana (di akhirat) tidak ada lagi dinar dan dirham.”(HR. Ibnu Majah)
Maksud dari sabda Rasulullah yang dikisahkan oleh Ibnu ‘Umar itu adalah, orang yang meninggal dalam keadaan masih membawa hutang atau belum melunasi hutang tersebut, maka untuk membayarnya akan diambil dari pahala kebaikannya.

Dari Abu Hurairah, Rasulullah saw bersabda,

“Jiwa seorang mukmin masih bergantung dengan hutangnya hingga dia melunasinya.”
(HR. Tirmidzi)

Dari Shuhaib Al Khoir, Rasulullah saw bersabda,

“Siapa saja yang berhutang lalu berniat tidak mau melunasinya, maka dia akan bertemu Allah (pada hari kiamat) dalam status sebagai pencuri.” (HR. Ibnu Majah)

Al Munawi mengatakan, “Orang seperti ini akan dikumpulkan bersama golongan pencuri dan akan diberi balasan sebagaimana mereka.”(Faidul Qodir, 3/181).

Jadi intinya, di zaman Rasulullah ketika ada orang tetapi banyak mempunyai hutang, Rasulullah tidak mau mensholatkan. Kata Ustadz dalam ceramah taraweh di masjid dekat rumah saya itu, Rasulullah tidak mengajak serta pengikutnya untuk ikut tidak mensholatkan si mayit. “Kalau kalian mau sholat silahkan, tetapi aku tidak,” begitu kata Rasulullah seperti yang diucapkan Ustadz. Namun begitu Abu Qotadah membayar hutang mayit itu, barulah Rasulullah mau mensholatkan.
Kisah di atas jadi mengingatkan saya soal polemik yang belum lama ini sempat berkembang. Bahwa ada sebagian besar umat Islam terang-terangan mengatakan, Koruptor jangan disholatkan jika ia meninggal. Sebagian lagi tidak mempermasalahkan sholat jenazah, dimana mayit yang disholatkan itu adalah Koruptor.
Malik Madany, Sekjen Katib Am Syuriah Nahdlatul Ulama (NU) misalnya. Beliau, sebagaimana penulis kutip dari Warta Umat Online (19/08), mengimbau para ulama untuk tidak mensholatkan jenazah koruptor yang meninggal dunia. Alasannya, korupsi merupakan kejahatan kemanusiaan yang luar biasa.
“Para koruptor itu tidak perlu dishalatkan para ulama, karena ulama itu para pewaris Nabi. Jadi cukuplah semacam Banser dan Garda Bangsa saja yang menshalatkannya,” kata Malik Madani dalam peluncuran buku Koruptor itu Kafir di Jakarta, Rabu, 18 Agustus 2010 lalu.
Hal yang sama juga dikatakan oleh Ketua Umum Pengurus Besar Nadhatul Ulama Said Aqil Siradj. “Pokoknya semua orang yang meninggal dunia masih ada kaitan adami (hak-hak terhadap sesama manusia), tak boleh disholatkan,” katanya. Koruptor, kata dia,  termasuk orang yang menanggung hak adami, karena menggambil hak orang lain untuk kepentingan pribadinya.
Bagaimana dengan Anda?
Jika saya membaca kisah Rasulullah tersebut di atas, rasanya saya berpikir, Koruptor juga termasuk orang yang behutang. Berhutang pada siapa? Berhutang pada institusi-institusi yang dikorup olehnya. Analoginya, ia telah melakukan mark up atas proyek. Misal nilai proyek hanya Rp 100 juta, tetapi dinaikkan menjadi Rp 200 juta. Atas kebohongannya itu, institusi tersebut dirugikan senilai Rp 100 juta.
Koruptor juga berhutang pada rakyat. Jika selama masa hidupnya ia selalu mengutip block grant dari pemerintah, misalnya dana pendidikan, maka uang yang seharusnya menjadi hak rakyat dikorup oleh koruptor. Fakta yang terjadi, nilai block grant Rp 100 juta, namun sampai di tangan rakyat hanya 50%-nya. Sisanya sudah dipotong ini dan itu.
Tentu di masa Rasulullah tidak ada block grant. Namun kisah di masa Rasulullah soal orang yang berhutang menurut saya jelas mirip dengan koruptor pada masa sekarang. Jadi saya sepertinya akan mengikuti jejak Rasulullah, yakni tidak mau mensholatkan orang meninggal yang berhutangjuga koruptor. Kecuali, ada orang yang membayar hutang atau mengembalikan hasil korupsinya sebagaimana dilakukan oleh Abu Qotadah. Tetapi mungkin tidak ya di zaman modern seperti ini ada orang yang mau membayarkan hutang orang atau mengembalikan hasil korupsi? Kalau ada, sungguh luar biasa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar